Rabu, 03 Agustus 2016

Secret Ingredients





Ben merasa sangat terganggu setiap kali dia melangkah masuk ke dalam dapur rumahnya. Yang mengganggu pikirannya adalah bejana logam kecil yang terletak di rak dapur tepat di atas kompor Martha. Mungkin ia tak akan terlalu memikirkannya andai saja Martha tak berulang kali mengingatkan Ben agar jangan pernah menyentuhnya. Alasannya, menurut Martha, adalah bejana logam itu berisi “resep rahasia” yang diwariskan oleh ibunya, dan karena ia tak bisa mengisi kembali apapun yang ada di dalam bejana itu, dia khawatir apabila Ben atau orang lain mengambil dan melihat isi di dalamnya, mereka akan tak sengaja menumpahkan isinya yang berharga.
Penampilan bejana itu sendiri sebenarnya biasa saja. Hanya saja bejana logam itu begitu tua hingga warna asli bunga merah dan keemasan yang menghiasinya terlihat telah memudar. Sampai-sampai kau bisa tahu dimana biasanya Martha memegangnya saat bejana itu diambil, di buka tutupnya dan diletakkan lagi berulang kali.
Bukan hanya jari-jari Martha yang pernah memegang bejana itu, tapi ibunya juga, dan neneknya pun pernah. Martha sendiri tidak yakin, tapi dia merasa kalau bejana itu telah diwariskan turun temurun sejak lama, bahkan mungkin nenek buyutnya sendiri pernah menggunakan bejana itu berikut “resep rahasia” didalamnya. Yang Ben tahu dengan pasti ialah beberapa hari setelah ia menikahi Martha, ibu mertuanya datang membawa bejana itu dan berpesan agar Martha menggunakan resep rahasia di dalamnya dengan baik seperti bagaimana ia menggunakannya sebelum Martha.
Dan Martha melakukannya, dengan patuh. Ben tak pernah sekalipun melihat Martha memasak hidangan tanpa mengambil bejana tua itu dari atas rak dapurnya dan membubuhkan sedikit dari “resep rahasia” itu ke dalam masakannya. Bahkan saat dia membuat cake, pie dan kue, Ben selalu melihat Martha menambahkan sedikit saja “resep” itu sebelum memasukkannya ke dalam oven.
Apapun yang ada di dalam bejana itu, satu hal yang pasti, resep itu berhasil dengan luar biasa. Bagi Ben, Martha adalah koki terbaik di dunia. Tapi bukan hanya Ben yang berpendapat begitu—semua orang yang makan di rumah mereka selalu dengan tulus memuji masakan Martha.
Tapi kenapa ia tak pernah mengijinkan Ben menyentuh bejana kecil itu? Benarkah ia takut kalau Ben dengan tak sengaja akan menumpahkan isinya? Dan seperti apa bentuk resep rahasia itu? Rasanya sangat lezat tiap kali Martha membubuhkannya pada setiap hidangan yang disajikannya. Ben tak bisa mengira-ngira. Pasti martha menggunakan sangat sedikit sekali dari resep itu, karena dia bilang sendiri kalau bejana itu tak bisa diisi lagi.
Tapi bagaimanapun Martha telah menggunakan resep rahasia itu selama lebih dari 30 tahun pernikahannya sampai sekarang. Resep itu tak pernah gagal membuat setiap orang ketagihan akan masakannya. Ben semakin tergoda untuk mengintip ke dalam bejana logam itu meskipun cuma sekali, tapi ia tak berani melanggar larangan istrinya.
Hingga suatu hari Martha jatuh sakit, Ben membawanya ke rumah sakit, dimana istrinya harus di rawat inap. Saat Ben pulang, dia merasa sangat kesepian di dalam rumahnya. Martha tak pernah sekalipun keluar selama satu malam sebelum ini. Dan ketika tiba saatnya untuk makan malam, dia tak tahu apa yang harus di lakukannya—Martha sangat suka memasak, sampai-sampai Ben tak perlu repot-repot untuk belajar menyiapkan makanannya sendiri.
Selagi Ben mondar-mandir di dapur untuk melihat apa yang ada di dalam kulkas, bejana di atas rak dapur tiba-tiba menarik perhatiannya. Matanya bagai tertarik seperti magnet—buru-buru ia memalingkan pandangannya, tapi rasa penasaran menarik pandangannya kembali ke bejana itu. Rasa penasaran yang tak kunjung hilang.
Apa isi di dalam bejana itu? Kenapa ia tak boleh menyentuhnya? Seperti apa bentuk resep rahasia itu? Berapa banyak sisanya?
Ben sekali lagi memalingkan pandangannya dan membuka tutup toples cake di laci dapur. Aah... masih ada sisa cake buatan Martha. Ben memotong cake itu menjadi beberapa potong ukuran besar, dan duduk di meja makan di dapur. Tak butuh lebih dari satu gigitan saat matanya lagi-lagi tertarik ke arah bejana berisi resep rahasia Martha. Apa salahnya kalau dia mengintip sedikit ke dalamnya? Kenapa Martha begitu merahasiakannya selama ini?
Ben mengunyah satu gigitan lagi dan bersikeras agar menahan keinginannya untuk mengetahui apa
yang ada di dalam bejana itu.—haruskah? Butuh lima gigitan besar lamanya Ben berpikir keras, sambil memandangi bejana tua itu. jAkhirnya, dia tak tahan lagi.
Dia berjalan perlahan mendekati rak itu, dan menurunkan bejananya—takut sekali kalau-kalau dia secara tak sengaja akan menumpahkan isinya saat dia mengintip ke dalamnya.
Dia meletakkan bejana itu di atas meja dan perlahan-lahan membuka tutupnya. Ben hampir saja merasa terlalu takut untuk melihat ke dalamnya! Saat dia akhirnya memberanikan diri melihat ke dalam bejana tua itu, mata Ben melotot—kenapa, bejananya kosong—hanya berisi secarik kertas yang terlipat di dalamnya.
Ben meraih ke dalam, mencoba mengambil kertasnya, tangannya yang besar hampir kesulitan untuk masuk ke dalam bejana kecil itu. Perlahan ia mengeluarkan lipatan kertas itu, dan dengan hati-hati membuka lipatannya di bawah cahaya lampu dapur.
Sebuah kalimat tertulis di dalamnya, dan Ben langsung mengenali tulisan tangan ibu mertuanya. Isinya sangat sederhana: “Martha—untuk semua yang kau buat, bubuhkan sejumput cinta.”
Ben tercekat, perlahan melipat kertas tadi dan dengan hati-hati dan memasukkannya kembali ke dalam bejana, dan tanpa berkata apa-apa lagi menghabiskan sisa gigitan cake-nya. Kini ia sepenuhnya mengerti kenapa rasanya begitu enak.